WELCOME TO D'best World comunity, kebersamaan dalam keluarga besar komunitas adalah hal yang paling terindah dalam hidup ini

kategori

Sunday, January 20, 2013

Serba-serbi jawaban ujian

Ini adalah curhatan dari salah satu dosen yang mungkin sebagian besar dosen juga mengalami nasib yang sama.
Musim ujian sudah berlalu. Mahasiswa mulai menikmati liburan, sementara dosen mulai bekerja memeriksa jawaban-jawaban mahasiswa. Ini adalah rutinitas tiap semester dan selama lebih dari 20 tahun menjadi dosen, ada banyak sekali ragam jawaban mahasiswa yang unik. Unik di sini dapat mengandung berbagai kesan. Ada jawaban yang seakan sok tahu, ada yang lebay, ada yang terlihat putus asa, dan ada pula yang mengenaskan.
 
Saya mencoba menuliskan beberapa pola yang cukup sering muncul. Silakan kalau ingin dibuat guyon dan lucu-lucuan, silakan pula jika ingin digunakan untuk bahan introspeksi dan perbaikan di kemudian hari. Tapi satu hal yang menurut saya cukup serius, saya menangkap kesan bahwa ada sebagian mahasiswa yang tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan (soal) ujian dengan baik. Sekali lagi: menjawab soal dengan baik. Biasanya frasa yang umum digunakan adalah “baik dan benar”, tapi saya hanya menyoroti aspek “baik” saja, karena masalah “benar” (atau salah) itu sudah menyangkut substansi jawaban.
 
Menjawab dengan “baik” itu artinya menjawab sesuai dengan maksud (yang diinginkan) soalnya. Hal ini ternyata sering menjadi masalah, terutama untuk soal-soal essay. Contoh-contoh jawaban yang tidak “baik” misalnya: pertanyaannya menyuruh membandingkan dua hal, jawabnya malah menjelaskan tentang kedua hal tersebut. Atau pertanyaannya menyuruh menjawab dengan ringkas, jawabannya satu lembar bolak-balik. Jawaban yang “baik” adalah jawaban yang bisa mengikuti alur pikir jawaban yang diharapkan dosen saat ia membuat soal tersebut.
 
Tiap dosen memang punya gaya sendiri-sendiri dalam membuat soal. Kalau saya, soal-soal (essay) saya kebanyakan “memaksa” mahasiswa untuk memahami serpihan-serpihan pengetahuan yang didapat selama kuliah dan merangkainya menjadi sebuah jawaban yang utuh, runtut, dan komprehensif. Inilah sebabnya mengapa saya cukup sering ditanya mahasiswa. Menurut mereka, jawaban mereka sudah benar, tapi mengapa nilainya tidak maksimal. Pada umumnya problemnya adalah, selain benar/salahnya jawaban, juga “rangkaian” jawaban yang mereka hasilkan. Ada yang tidak lengkap, tidak nyambung, bertele-tele, dan sebagainya, yang semua itu membuat jawaban yang muncul tidak “mulus”.
 
‘nuff said.... Saya mulai saja mengidentifikasi jawaban-jawaban unik dari mahasiswa. Deskripsinya saya awali dengan penjelasan tentang materi yang saya sampaikan di kelas, diikuti dengan pertanyaan di ujian, lalu jawaban mahasiswa. Yang terakhir saya berikan komentar saya juga, bisa berupa perasaan saya setelah membaca jawaban mahasiswa, dan/atau saran perbaikannya.
 
[tipe ‘grammar-hater’]
Materi: (apapun)
Soal ujian: (apapun)
Jawaban: sebenarnya substansi jawabannya tidak bermasalah, tetapi kalimat-kalimat jawaban bermasalah besar. Kalimat-kalimat itu disusun dengan tatabahasa dan tatatulis yang amburadul. Jawaban seperti ini sangat membuang waktu saya, karena perlu waktu cukup lama untuk memahami esensi dari jawaban-jawabannya. Karena jengkel, biasanya saya kurangi nilainya. Saran: mahasiswa memang tidak mengerjakan ujian tentang kebahasaan, tetapi penguasaan tatabahasa dan tatatulis yang baik tetaplah diperlukan. Otherwise, jawaban anda hanya akan membuat dosen bingung.
 
[tipe ‘missed shot’]
Materi: saya menjelaskan tentang konsep A.
Soal ujian: pertanyaannya tentang konsep A.
Jawaban: jawaban mahasiswa adalah A#, di mana A# adalah konsep A menurut versi mahasiswa.
Komentar: tergantung seberapa jauh “jarak” antara A dan A#. Jika keduanya mirip, maka biasanya saya tidak mempersalahkan dan mahasiswa bisa memperoleh nilai hampir maksimal. Yang sering menjadi problem adalah jika beda A dan A# cukup signifikan. Artinya ada miskonsepsi yang dialami mahasiswa. Saya biasanya memberikan nilai rendah, dan inilah yang sering memicu protes mahasiswa. Menurut mereka, mereka sudah menjawab dengan benar. Dengan diskusi dan penjelasan yang memadai, pada umumnya mahasiswa bisa menerima nilai yang diberikan.
 
[tipe ‘tersesat’]
Materi: saya menjelaskan tentang A.
Soal ujian: saya bertanya tentang A.
Jawaban: mahasiswa menjawab dengan Z. Jawaban yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaannya.
Komentar: sad but true, hal ini benar-benar terjadi. Saya juga tidak tahu mengapa jawabannya sama sekali tidak terkait dengan pertanyaannya. Ada indikasi terjadinya kesalahan baca atau pemahaman terhadap soal. Jadi, sebelum menjawab, bacalah soalnya berulang-ulang, dan yakinkan anda paham tentang maksud soal tersebut.
 
[tipe ‘comfort-zoner’]
Materi: saya menjelaskan tentang X dan Y. Secara deduktif, Z dapat diturunkan dari X dan Y (tapi saya tidak menjelaskan tentang Z di kelas).
Soal ujian: saya bertanya tentang Z, dengan memberi petunjuk (clue) terkait X dan Y.
Jawaban: mahasiswa menjawab seputar X dan Y, tapi tidak menyentuh Z.
Komentar: saya menganggap mahasiswa yang menjawab seperti di atas sebagai comfort-zoner. Ia merasa nyaman dengan materi yang diajarkan dan tidak mau keluar dari kenyamanan itu untuk mengeksplorasi dunia lain yang masih asing. Ketahuilah wahai para mahasiswa bahwa di dunia nyata banyak skenario problem yang mirip dengan situasi seperti di atas. Tanpa kesediaan untuk melakukan analisis secara cermat, anda tidak akan mendapatkan solusi yang maksimal.
 
[tipe ‘ceriwis’]
Materi: (apapun)
Soal ujian: saya menanyakan tentang X dan mengharapkan jawaban X1, X2, dan X3
Jawaban: mahasiswa tidak hanya menjawab X1, X2, dan X3, tetapi juga X4 sampai dengan X9.
Komentar: meskipun mahasiswa dapat memenuhi harapan saya, tetapi saya tidak memberikan nilai maksimal. Prinsip saya, berlebihan itu tidak baik. Berikan saja apa yang saya minta, tidak usah dilebih-lebihkan.
 
[tipe ‘calon dokter’]
Materi: (apapun)
Soal ujian: (apapun)
Jawaban: sebenarnya masalahnya bukan tentang jawabannya, tetapi tulisannya. Tulisan si mahasiswa tidak bisa saya baca.
Komentar: biasanya saya cenderung menjadi frustrasi jika menemui jawaban semacam ini. Pada akhirnya saya menjadi malas membaca, dan memberikan nilai juga sekenanya. Saran bagi mahasiswa: jika memang anda memiliki tulisan yang jelek, usahakan untuk membuat tulisan anda bisa dibaca. Tulisan tidak harus bagus, tapi yang penting terbaca. Pengalaman saya dulu sewaktu masih mahasiswa, ada teman saya yang pintar sekali tetapi tulisannya jelek. Pada saat kami menempuh suatu matakuliah, saya sering bertanya kepada teman tadi. Saat ujian, dia mendapatkan B, saya dapat A. Saya tidak tahu mengapa teman yang mengajari saya malah dapat B sementara saya justru mendapat A. Dugaan saya, itu karena dosennya frustrasi membaca tulisannya yang jelek.
 
[tipe ‘party-goer’]
Materi: (apapun)
Soal ujian: (apapun)
Jawaban: kertas jawaban dipenuhi dengan ‘hiasan-hiasan’ yang fancy. Ada kata-kata yang digarisbawahi atau bahkan diberi warna stabilo. Ada icon-icon kotak, lingkaran, dan bentuk-bentuk lain yang dituliskan dengan tinta beraneka warna. Pokoknya meriah.
Komentar: bagi saya, tampilan kertas jawaban tidaklah berpengaruh terhadap penilaian. Jangan menghabiskan waktu untuk menghias kertas jawaban ujian, gunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
 
[tipe ‘religiously hopeless’]
Materi: (apapun)
Soal ujian: (apapun)
Jawaban: di awal kertas jawaban tertulis lafadz basmalah dalam tulisan Arab, lalu banyak jawaban yang kosong atau salah. Bahkan pernah ada yang di akhir kertas jawaban menyisipkan doa: “Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak”.
Komentar: saya selalu speechless kalau menghadapi jawaban seperti ini.
 
[tipe ‘mengenaskan’]
Materi: (apapun)
Soal ujian: (apapun)
Jawaban: biasanya banyak yang salah atau tidak lengkap, kertas jawaban cenderung bersih. Di akhir mahasiswa menulis ungkapan semacam ini: “Pak, mohon pertimbangannya. Saya sudah menempuh kuliah ini 3x dan semester ini saya harus lulus karena orang tua tidak mampu lagi membiayai kuliah”.
Komentar: mixed feeling. Antara kasihan dan mangkel. Kadang saya cek ke bagian pengajaran tentang status si mahasiswa. Kalau memang kondisinya terpepet, biasanya rasa kasihan saya yang menang dan saya beri nilai lulus minimal. Tapi kalau saya menemukan indikasi bohong, saya akan luapkan rasa mangkel saya dengan memberi nilai paling rendah yang layak diterima.
 
Demikianlah beberapa contoh jawaban ujian yang unik yang pernah saya temui. Ada yang bikin geli, ada yang membuat saya jadi jengkel, tapi ada pula yang menyentuh rasa iba saya. Ada yang bisa menambahkan contoh-contoh jawaban unik lainnya?
 
 
coba renungkanlah sejenak kita semua termsuk tipe yg seperti apa???????

[+/-] Selengkapnya...